Senin, 18 September 2017

Potret Wajah Birokrasi Indonesia Di 18 Tahun Reformasi


Potret Wajah Birokrasi Indonesia Di 18 Tahun Reformasi

Dari waktu ke waktu isu reformasi masih eksis dan menarik untuk di perbincangkan, tidak hanya di kalangan para tokoh politik dan akademisi namun masyarakat juga memiliki simpati terhadap isu ini. Hal ini di karenakan kajian besar reformasi mengenai birokrasi, dimana birokrasi merupakan alat terealisasikannya suatau kebijakan yang berkenaan dengan masyarakat. Melalui perjalanan sejarah reformasi hadir di tengah-tengah masayarakat sebagai harapan agar mampu membentuk tatanan pemerintahan yang ideal.
Seperti yang kita ketahui bahwa di setiap pembentukan negara tentu di barengi dengan pemebentukan sistem pemerintahan dan birokrasi. Karena birokrasi menentukan jalannya roda pemerintahan bagi kehidupan bernegara. Hegel dalam buku birokrasi dan politik Indonesia berpendapat bahwa administrasi negara (Birokrasi) ialah sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara (Pemerintah) dengan masyarakatnya. Sehingga pentingnya pencapaian reformasi birokrasi merupakan salah satu jalan untuk mencapai good goverment. Reformasi birokrasi merupakan bagian dari tuntutan reformasi yang meliputi aspek politik, ekonomi, hukum dan sosial. Reformasi birokrasi sendiri menurut Khan (1981) dalam bukunya Warsito Utomo mendefinisikan reformasi sebagai suatu usaha melakukan perubahan-perubahan pokok dalam suatu sistem birokrasi yang bertujuan mengubah struktur, tingkah laku, dan keberadaan atau kebiasaan yang telah lama. Selain itu ditambahkan pula oleh Quah (1976) bahwa reformasi sebagai suatu proses untuk mengubah proses dan prosedur birokrasi publik dan sikap serta tingkah laku birokrat untuk mencapai efektivitas birokrasi dan tujuan pembangunan nasional.
Intinya bahwa Reformasi birokrasi merupakan sebuah konsep bagi perbaikan kondisi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Pengalaman sejumlah negara menunjukkan bahwa reformasi birokrasi merupakan langkah yang menentukan dalam pencapaian kemajuan negara tersebut. Melalui reformasi birokrasi, dilakukan penataan terhadap sistem penyelenggaraan pemerintahan yang tidak hanya efektif dan efisien serta rasional tetapi juga mampu menjadi tulang punggung dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi menjadi sangat penting, karena birokrasi ibarat salah satu pilar berdinya negara, bayangkan saja apabila birokrasi kita masih berlumut oleh KKN maka dalam jangka beberapa tahun lagi pilar itu akan roboh. Sehingga perluhnya reformasi birokrasi sebab keberhasilan pelaksanaan daripada reformasi birokrasi akan sangat mendukung dalam penciptaan Clean Goverment and Good Governance.
Realitanya Indonesia di 18 tahun reformasi tidak mampu menjamin teralisasikannya reformasi birokrasi berjalan dengan baik bahkan reformasi birokrasi pasca era reformasi seperti tidak tersentuh sama sekali. Hal ini menjadi tanda tanya setelah pergantian rezim dari orde baru ke reformasi tidak memberikan pengaruh apapun, malah semakin parah dari rezim sebelumnya. Reformasi hanya dipandang sebagai pergantian kepemimpinan dalam rangka menurunkan Soeharto sebagai presiden hingga sekarang sudah empat kali pergantian presiden namun reformasi birokrasi tidak menunjukan tanda-tanda perubahan berarti. Bahkan dimasa kepemimpinan Soeharto, Indonesia mengidap virus Parkinson dan Proliferasi dimana dibuat dengan tujuan agar memperkuat kekuasaan yang sedang berlangsung. (Miftah Thoha. 2009)
Keberadaan pegawai negeri sipil dalam sistem birokrasi telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian khususnya Pasal 3 ayat (1). Pegawai negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan. Namun prinsip-prinsip ini belum mampu di implementasikan oleh para birokrat kita. Kurangnya komitmen dari pemerintah terhadap reformasi birokrasi menyebabkan masih banyaknya permasalah-permasalahan birokrasi di era reformasi ini yang telah terbilang tua.
Gambaran dari permasalahan - permasalahan birokrasi Indonesia yang paling mendasar di era refomasi ini diantaranya ialah:
1.      Organisasi, birokrasi Indonesia memiliki struktur yang besar dan banyak yang tidak layak atau tidak sesuai dengan fungsi mereka.
2.      Hukum dan peraturan, adanya kontradiktif dan banyak praturan yang ambigu. Seperti kontradisi antara Undang-Undang 43 dan Undang- Undang 32 yang menentukan siapa yang menjadi pejabat dan pembina karir pegawai.
3.      Sumber daya manusia, birokrasi mengalami kelebihan pegawai dan kekurangan pada saat yang sama. Misalnya di daerah kota mengalami overstaffed sehingga pada sistem banyak pegawai yang hanya datang dan tanda tangan namun di daerah lain seprti di pedesaan masih banyak yang understaffed. Hal ini di sebabkan tidak terjadi distribusi yang baik.
4.      Proses bisnis, terjadi prosedur yang tidak jelas dan berbelit - belit hingga permasalahan mata rantai yang panjangan yang membutuhkan waktu yang lama.
5.      Pelayanan publik, birokrasi kita memiliki kulitas pelayanan yang rendah, banyak ketidak pastian dan adanya celah untuk KKN.
6.      Pola pikir dan budaya, dalam birokrasi tidak memiliki semangat kerja dan budaya untuk memproduksi inovasi, penciptaan dan penemuan di antara PNS.

Di 18 tahun reformasi ini virus Parkinson dan Proliferasi ini ternyata masih berakar di tubuh birokrasi Indonesia. Era reformasi tidak mampu menjamin birokrasi menjadi lebih rasional praktek penyelewengan etika dalam birokrasi masi banyak kita temukan di pemerintahan. Budaya penyelewengan etika yang terjadi di badan birokrasi ini ternyata telah mendarah daging, sehingga reformasi sebagai penawarpun tidak mampu menjadikan birokrasi seperti yang di harapkan. Birokrasi Indonesia sesungguhnya tidak beranjak dari sistem birokrasi kolonial yang hakekatnya merupakan alat kekuasaan dan pelayan penguasa. Bukan merupakan alat dari suatu sistem yang memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat atau publik dalam rangka melayani tugas negara, pemerintahan dan pembangunan apa yang menjadi kebutuhan untuk memberikan kemudahan dalam berbagai hal yang seharusnya diberikan demi kepentingan publik yang membutuhkan.
Sikap-sikap sopan yang melenceng dari sikap rasional banyak kita temukan pada badan-badan birokrasi di Indonesia. Kondisi birokrasi di Indonesia masih jauh dari harapan di perjelas melalui sumber Institute for Civil Society (INCIS) , 2007. Dari data tersebut diketahui bahwa bentuk diskriminasi layanan publik yang paling menonjol adalah karena suap. Suap bisa terjadi karena masyarakat menginginkan pelayanan yang cepat sedangkan aparat mencari peluang tambahan uang. Budaya suap sudah begitu mengakar pada praktek layanan publik kita, sehingga sulit untuk diberantas. Sulitnya menghilangkan suap ini juga dikarenakan perilaku masyarakat sendiri yang seringkali justru menawarkan sejumlah uang atau pemberian barang kepada birokrasi sebagai pelicin urusan. Kejelasan pratek KKN di Indonesia di faktori oleh budaya politik masyarakat Indonesia. Sikap rasional dalam birokrasi hanya ada 1 dari 10 orang di Indoneisa dan orang-orang ini mengalami tekanan-tekanan idiologi dan politik dari pihak penguasa. Tekanan-tekanan ini tidak hanya di rasakakan oleh masyarakat yang sudah rasional pemikirannya namun masyarakat awampun melalui proses tekanan ini.
Masyarakat Indoneisa tidak mampu menghindari pengaruh, kekuasaan dan paksaan dari pemerintah. Karena masyarakat memerlukan pemerintah untuk menyelesaikan urusan hidupnya. Kelembagaan institusional menunjukan adanya serangkaian prosedur aturan yang di terima untuk menjalankan fungsi-fungsi tertentu dari waktu ke waktu tanpa memandang siapa yang bakal di kenai prosedur aturan tersebut. Pemerintah itu merupakan perpaduan antara orang-orang dan kelambagaan yang membuat dan memaksakan hukum dan undang-undang kepada masyarakata. Dari pandangan seperti itu melekat kesan bahwa kekuasaan itu ada pada pemerintah, namun masyarakat melupakan bahwa kekuasaan itu berasal dari rakyat yang di percayakan kepada pemerintah untuk mengatur dan mengatasi masalah-masalah yang bisa di terima oleh semua pihak. Karena setiap pekerja atau pejabat dalam birokrasi pemerintah merupakan mesin yang tidak mempunyai kepentingan pribadi. Namun praktek buruk yang di lakukan para birokrasi sudah terlalu lama terjadi dan rakyatpun telah menderita penyakit lupa akan fungsi kontrol terhadap jalannya birokrasi, sehingga penyelewengan dalam birokrasipun sudah mengkronis.
Persolan dalam birokrasi itu sendiri dipengaruhi oleh dua fatktor yaitu pertama faktor internal dimana persoalan kualitas SDM, sistem dan prosedur kerja yang masih bertele-tele, budaya kerja yang masih feodalistik, kempemimpinan yang kaku dan cenderung tidak visioner, mental dan moral yang rendah serta struktur organisasi yang gemuk dan kurang jelas fungsinya. Faktor tersebut masih juga terkait dengan perilaku administrator maupun perilaku organisasi. Dan yang kedua dari faktor eksternal paling tidak terkait dengan hal-hal seperti kepercayaan masyarakat yang rendah terhadap birokrasi, tuntutan masyarakat terhadap perlunya birokrasi yang profesional, bebas KKN, budaya yang dianut oleh masyarakat umum kurang kondusif bagi perbaikan birokrasi, tingkat kesadaran dan kedisiplinan birokrasi, dan kedisiplinan masyarakat terhadap sistem kebijakan yang berlaku masih rendah, kesenjangan sosial, serta hal-hal lainnya.(Miftah Thoha, 2012)
Hasil akhirnya ialah perjalanan reformasi khususnya untuk birokrasi masih belum terasa, bahkan ada yang mengatakan bahwa birokrasi mengalami stagnan jika dibandingkan dengan reformasi politik atau reformasi ekonomi. Senada dengan pernyataan tersebut pandangan Miftah Thoha terkait pelaksanaan reformasi di bangsa ini yang lebih mengedepandakan reformasi politik dari pada reformasi birokrasi dimana pandangan beliau bahwa Selama 10 tahun terakhir ini kita merasakan kemajuan reformasi di bidang politik dan ekonomi, Di bidang politik demokrasi semakin berkembang baik, kebebasan berpolitik dan perbedaan pendapat dijamin sangat baik. Akan tetapi kehidupan birokrasi menunjukkan kurva terbalik, hal ini bisa dilihat dari dua indikator Indek Prsepsi Korupsi dan Indek kemudahan pelayanan usaha.
Jadi di era reformasi yang sudah terbilang tua ini reformasi birokrasi bukalnlah opsi melainkan keharusan, karena negara tidak bisa berjalan dengan baik apabila roda birokrasi masih tersangku dengan masalah KKN. Sebagai garda terdepan dalam hal pelayanan publik, reformasi birokrasi dapat dimulai dari perubahan struktur dan kultur sehingga birokrasi harus mampu menjadi bafer, penyanggah dan filter. Suksesnya reformasi birokrasi di butuhkannya komitmen dari pemerintah, dan dengan sistem pemerintahan yang desentralisasi ini kesadaran akan reformasi birokrasi harus juga ada di daerah karena rencana strategis di pemerintah pusat sulit di implementasikan di daerah apabila tidak terjadi koordinasi yang baik antara pemerintah pusat dan daerah.
Sebagai Agent Of Development yang bergerak dalam segalah sektor dari pusat hingga daerah. Birokrasi memerlukan orang-orang yang mampu memenuhi SKP atau sasaran kerja pegawai dimana terdapat perjanjian pegawai yang berisi tentang indikator kerja dan terget sehingga dapat membangun menejemen kinerja dalam birokrasi. Sebaik apapun program pembangunan yang kita tetapkan, apabila birokrasi tidak kompeten, integritas tidak terjaga dan moral rusak maka program-program tidak bisa di implementasikan dengan baik. Kerena semua program di deliveri oleh sistem yang kita sebut sebagai birokrasi.
Dalam hal perubahan mindset and culturset perubahan juga harus di lakukan oleh masyarakat. Perluhnya dukungan masyarakat untuk tidak percaya pada birokrat yang melakukan penyelewengan sebab sehat birokrasi tidak hanya di tentukan oleh birokrasi itu sendiri tetapi juga dari masyarakat. Untuk melakukan fungsi kontrol, masyarakat dapat melakukan pengaduan kinerja birokrat baik melalui tingkat kepuasan yang ada di organisasi-organisasi pemerintahan daerah maupun melalui sistem elektronik yang langsung terhubung ketingkat nasional. Sehingga pemerintah pusat maupun daerah dapat berbenah dan memperbaiki rapor dengan nilai merah dalam birokrasi.



DAFTAR PUSTAKA

Thoha, Miftah. 2009. Birokrasi Pemerintaha Indonesia di Era Reformasi. Jakarta : Kencara Prenada Media Group.
Thoha, Miftah. 2012. Birokrasi Dan Politik Di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada.
Utomo, Warsito. 2007. Dinamika Administrasi Publik Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kontenporer Dalam Administrasi Publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dan Program Megister Administrasi Publik UGM.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar