Rencana DPRA Dalam Perubahan Qanun
Tentang Persyaratan Calon Independen Pada Pilkada 2012 Dalam Perspektif Kebijakan Publik
KATA PENGANTAR
Puji
dan Syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Salawat dan salam kita kirimkan
kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Saw, karena atas hidayah-Nyalah paper ini
dapat diselesaikan. Paper ini penulis sampaikan kepada pembina mata kuliah
Kebijakan Publik Bapak/Ibu sebagai salah satu tugas dari mata kuliah tersebut. Tidak lupa
Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu yang telah berjasa mencurahkan ilmu
kepada penulis selama ini.
Penulis
memohon kepada Bapak/Ibu dosen khususnya, umumnya para pembaca apabila
menemukan kesalahan atau kekurangan dalam karya tulis ini, baik dari segi
bahasanya maupun isinya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya karya-karya tulis yang akan
datang.
BAB I
ABSTRAK
Rencana
perubahan Qanun Pilkada Aceh tentang syarat untuk calon independen jadi sorotan
semua kalangan. Detik- detik rencana perubahan Qanun ada berbagai pro kontra
terkait revisi UU Pilkada tentang persyaratan dukungan bagi calon independent.
Seperti
pendapat ketua DPW PKB Aceh sekaligus Anggota DPR RI H. Irmawan, S.Sos, MM
mengatakan, revisi UU Pilkada penting untuk meningkatkan partisipasi masyarakat
dalam menjalankan demokrasi Indonesia. H. Irmawan yang juga merupakan salah
satu Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk oleh Komisi II DPR RI ini mengaku
optimis revisi UU Pilkada tersebut akan disetujui.
Sedangkan Aryos
Nivada, sebagai Pengamat Politik dan Keamanan Aceh menilai, dengan memperberat
syarat bagi calon independent menunjukan sikap pengecut dan paranoid dari
partai politik yang berada di parlemen, karena dianggap tidak siap bersaing
secara fair dengan kandidat dari jalur independent. Menurutnya, hal
tersebut adalah bukti kemunduran sikap berdemokrasi dari anggota dewan berlatar
belakang partai politik yang menyusun draf qanun pilkada.
Baik yang pro maupun kontra keduanya
menginginkan kebijakan yang di keluarkan pemerintah Aceh untuk kepentingan
bersama. Namun yang perluh di ingat bahwa kebijakan dalam segalah
bentuknya tidak boleh lepas dari nilai-nilai tradisional yang di anut, Jika
kebijaksanaan di harapkan menjadi aturan dalam masyarkat. Kerena setiap
kebijakan mempunyai konsekuensi dan mengenai masyarakat secara menyeruluh.
BAB II
PEMBAHASAN
Secara
harfiah, ilmu kebijakan merupakan terjemahan langsung dari kata policy science. Public policy memiliki
tiga konotasi yaitu pemerintah, masyarakat dan umum. Hal ini dapat di lihat
dari dimensi subjek, objek dan lingkungan dari kebijakan. Dalam di mensi subjek
kebijakan public adalah kebijakan dari pemerintah, sehingga salah satu ciri
kebijakan adalah “ what government do or
not to do’’. kebijakan dari pemerintahlah yang dapat di anggap sebagi
kebijakan yang resmi, sehingga mempunyai kewenangan yang dapat memaksa
masyarakat untuk mematuhinya.
Pengertian
kebijakan public menurut parah ahli :
Easton
(1969), Kebijakan publik diartikan sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan
untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya
pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan
tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah
yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan
tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah
yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
James
E. Anderson , Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan
oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah
James
E. Anderson (1970) mengelompokkan jenis-jenis kebijakan publik sebagai berikut:
1. Substantive
and Procedural Policies.
Ø Substantive
Policy. Suatu kebijakan dilihatdari substansi masalahyangdihadapi oleh
pemerintah. Misalnya: kebijakan pendidikan, kebijakan ekonomi, dan Iain-lain.
Ø Procedural
Policy. Suatu kebijakan dilihatdari pihak-pihak yang terlibatdalam perumusannya
(Policy Stakeholders).
2. Distributive,
Redistributive, and Regulatory Policies.
Ø Distributive
Policy, Suatu kebijakan yang mengatur tentang pemberian pelayanan/keuntungan
kepada individu-individu, kelompok-kelompok, atau perusahaan-perusahaan. Contoh:
kebijakan tentang "Tax Holiday"
Ø Redistributive
Policy, Suatu kebijakan yang mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan,
pemilikan, atau hak-hak. Contoh: kebijakan tentang pembebasan tanah untuk
kepentingan umum.
Ø Regulatory
Policy. Suatu kebijakan yang memgatur tentang pembatasan/ pelarangan terhadap
perbuatan/tindakan. Contoh: kebijakan tentang larangan memiliki dan menggunakan
senjata api.
3. Material
Policy. Suatu kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian/ penyediaan sumber-sumber
material yang nyata bagi penerimanya. Contoh: kebijakan pembuatan rumah
sederhana.
4. Public
Goods and Private Goods Policies.
Ø Public
Goods Policy. Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan
barang-barang/pelayanan-pelayanan oleh pemerintah, untuk kepentingan orang
banyak
Contoh: kebijakan tentang perlindungan keamanan, penyediaan jalan umum.
Contoh: kebijakan tentang perlindungan keamanan, penyediaan jalan umum.
Ø Private
Goods Policy. Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang-barang
atau pelayanan oleh pihak swasta, untuk kepentingan individu-individu
(perorangan) dipasar bebas, dengan imbalan biaya tertentu.
Contoh: kebijakan pengadaan barang-barang atau pelayanan untuk keperluan perorangan, misalnya tempat hiburan, hotel, dan lain-lain.
Contoh: kebijakan pengadaan barang-barang atau pelayanan untuk keperluan perorangan, misalnya tempat hiburan, hotel, dan lain-lain.
Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 23 Juli 2007, pasaran partai politik
sebagai "kendaraan" menuju pencalonan kepala daerah mulai menurun.
Partai politik tidak lagi memegang monopoli tiket untuk maju memperebutkan
kursi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Calon perseorangan atau yang lebih
dikenal dengan calon independen kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat
tampil tanpa melalui partai politik atau gabungan partai politik. Putusan
Mahkamah Konstitusi tersebut disambut dengan penuh semangat oleh para pendukung
calon independen. Sementara itu kalangan partai politik tidak bisa menolak
putusan Mahkamah Konstitusi. Sebab
putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan memperoleh kekuatan hukum tetap
sejak selesai diucapkan pada sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka
untuk umum.
Apabila
demokratisasi dimaknai sebagai perluasan partisipasi politik dan kesediaan
untuk berkompetisi secara fair, maka tampilnya calon independen tidak perlu
dirisaukan oleh partai politik. Fungsi rekruitmen politik yang dimiliki oleh
partai politik tidak akan direduksi. Tetapi patut diakui bahwa partai politik
tidak lagi menjadi "agen tunggal" rekruitmen politik.
Tampilnya calon
independen memang membuat kompetisi semakin kompleks dan ketat. Kompetisi tidak
saja terjadi antar partai politik yang mengusung calonnya masing- masing,
tetapi juga terjadi antara partai politik dengan calon independen. Sudah tentu persaingan
yang semakin ketat tersebut "memaksa" partai politik untuk membenahi
dirinya dengan melakukan konsolidasi wawasan, konsolidasi organisasi dan konsolidasi
kader.
Partai politik
mau tidak mau akan mengembangkan demokrasi internal, mempertajam visi dan misi
politiknya agar lebih aspiratif. Partai politik juga perlu membangun
organisasinya sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi modern dengan manajemen
yang efektif, jaringan yang luas didukung oleh sumber daya yang memadai. Disamping
itu partai politik perlu lebih serius mencetak kader-kader kepemimpinan yang memiliki
prestasi, dedikasi, integritas pribadi, dukungan konstituen yang jelas dan mempunyai
komitmen untuk membangun bangsanya.
Yang penting
untuk dijaga adalah agar perluasan partisipasi dan persaingan tersebut tidak
membawa akses pada perluasan konflik horizontal ditengah-tengah masyarakat yang
dipicu oleh fanatisme sempit, primordialisme dan persaingan yang tidak fair.
Aturan hukum harus mampu membangun koridor untuk mencegah konflik atau menyediakan mekanisme penyelesaian konflik
yang adil dan efektif. Selain itu tingkat kedewasaan politik para aktor politik
merupakan faktor yang cukup penting dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk
perluasan partisipasi dan persaingan dalam proses demokrasi. Apakah kebijakan
tentang persyaratan calon independent yang lalu menjadi batu sandungan dalam
proses demokrasi sehingga di perluhkannya revisi untuk pemilu mendatang?.
Memahami manfaat dan danpak dari kebijakan pemerintah Aceh dalam merevisi Qanun
pemilu untuk calon independent akan di jelaskan lebih lanjut.
Badan legislatif
DPRA Aceh merencanakan perubahan Qanun Pilkada Aceh tentang syarat untuk calon
independen pada pilkada 2017. Lembaga itu melakukan pembahasan perubahan Qanun
Pilkada Nomor 5 Tahun 2012. Bertempat di ruang Badan Muswarah (Banmus) DPRA,
Senin 11 April 2016. Ada dua hal penting yang direncanakan akan diubah. Pertama
setiap calon harus mengundurkan diri dari jabatan PNS, DPR, DPD, TNI dan POLRI.
Selain itu, bagi calon perseorangan (independen) syarat dukungan KTP akan
diperberat.
Dalam klausul
draft Qanun dibahas mengenai bahwa
anggota DPR, DPD, DPRA, DPRK, PNS, TNI, POLRI, harus mundur dari jabatannya
saat ditetapkan sebagai pasangan calon. untuk calon perseorangan, DPRA dan
eksekutif juga sepakat mengubah syarat pengajuan bakal calon kepala daerah
untuk jalur ini.
Pernyataan
dukungan harus dibuat secara individu. Tidak boleh kolektif sebagaimana diatur
dalam Qanun pilkada sebelumnya. Setiap lembar KTP harus disertakan surat
dukungan yang wajib dilengkapi dengam materai dan tanda tangan pendukung,. Perubahan
syarat pengajuan bakal calon dari jalur independen itu disepakati dalam
pembahasan lanjutan. Perubahan Qanun Pilkada Nomor 5 Tahun 2012, Senin 12 April
2016.
Pasal yang
mengatur syarat dukungan calon independen ini terdapat pada Pasal 24, huruf a,
b, c, d, e, f, g. Pada huruf ‘a’syarat jumlah dukungan untuk pengajuan bakal
calon independen adalah sebesar 3 persen dari jumlah penduduk, yang tersebar
sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati atau
wakil bupati, atau wali kota atau wakil wali kota.
Dari sudut
pandangan kebijakan publik, baik atau tidaknya kebijakan yang akan di keluarkan
pemetrintah Aceh tentang perubahan mengenai syarat bagi calon independen untuk
pilkada 2017. Rumusan kebijakan pemerintah tentang syarat bagi calon independen
dapat kita lihat dari perseptif unsur kebijakan publik :
Unsur yang
pertama dilihat dari tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan perubahan persyaratan
bagi calon independent menurut pernyataan Ketua Komisi II DPR, Rambe
Kamarulzaman. Bahwa perdebatan soal perubahan syarat itu berawal dari adanya
masukan bahwa syarat calon kepala daerah saat ini masih belum adil. Di satu
sisi, syarat untuk maju sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah
dari partai politik dinilai lebih berat. Syaratnya, 20 persen kursi DPRD dari
satu atau gabungan parpol, atau 25 persen jumlah raihan suara. Di sisi lain,
Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mematok syarat majunya calon perseorangan adalah
6,5-10 persen dari jumlah pemilih pada pemilu/pilkada sebelumnya. Soal
ketidakadilan itu juga diakui oleh Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PKB,
Lukman Edy. Perbedaan syarat tersebut dinilai jauh dari asas berkeadilan,
sehingga harus disamakan. Oleh karena itu, syarat 6,5 sampai 10 persen untuk
calon perseorangan, ada pikiran di DPR dari beberapa fraksi, untuk dinaikkan.
Dari staigmen
di atas kebijakan yang di keluarkan pemerintah dari segi tujuannya kurang
memenuhi syarat untuk diubah karena tujuan kebijakan yang baik sekurang-kuranya
harus memiliki empat kriteria yaitu yang pertama
kebijakan yang di keluarkan harus diterimah banyak pihak atau tidak
bertentangan dengan nilai -nilai yang dianut oleh masyarakat. Kedua mewakili kepentingan
mayoritas atau di dukung oleh golongan
yang kuat dari masyarakat. Ketiga tujuan
di keluarkannya kebijakan harus masuk akal (logis) dan mempunyai gambaran yang
jelas. Keempat, kebijakan tersebut
mempunyai orientasi kedepan.
Dari keempat
kriteria di atas kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah tidak memiliki
tujuan dan arah yang jelas dapat di lihat dari bertentangannya kriteria pertama dimana kebijakan yang akan
dikeluarkan bertentangan degan nilai dasar dari masyarakat Aceh secara umum.
Aceh sebagai pelopor lahirnya calon perseorangan dan Aceh juga yang membuka
ruang bagi sumbatan demokrasi yang awalnya tiap partisipasi hanya boleh lewat
partai politik. Ini sumbangan bagi memperkaya tradisi berdemokrasi di
Indonesia. Juga bagian partispasi rakyat secara langsung sebagai pemilik sah
demokrasi upaya pemberatan aturan terhadap jalur yang seharusnya bebas hambatan
ini, adalah pembajakan sistematis terhadap demokrasi.
Kriteria kedua, kebijakan yang akan dikeluarkan
hanya mementingkan kepentingan individu atau kelompok. Karena pemerintah Aceh
tidak memperhitungkan keberadaan organisasi dan peraturan yang berlaku di dalam
masyarakat. Dapat di lihat tidak adanya sosialisasi atau partisipasi masyarakat
yang harusnya menjadi factor pendukung atau input dalam menetapkan kebijakan.
Kriteria ketiga, tujuan pemerintah untuk
mengeluarkan kebijakan diatas tidak logis dalam mendukung masyarakat dan tidak
memiliki gambaran yang jelas pentingnya kebijakan itu bagi masyarakat.
Kriteria keempat, kebijakan yang akan di
keluarkan tidak berorintasi ke depan dimana kebijakan tersebut akan menimbulkan
dampak negative dari masyarakat yaitu mengurangi kepercayaan masyarakat
terhadap pemerintah dalam memperjuangkan nilai-nilai dalam mayarakat yang
pernah di janjikan, mengurangi partisipasi masyarakat, dan dapat mematikan
nilai demokrasi. Dengan di keluarkannya kebijakan itu juga dapat menyebabkan
meningkatnya angka korupsi. Dimana kebijakan persyaratan calon independent
membutuhkan biyayah yang tidak sedikit, hal ini akan menimbulkan harapan untuk
mengembalikan pengeluaran dalam memenuhi persyaratan tersebut akibatnya di masa
jabatan akan mudah terjadinya penyelewengan dana (korupsi).
Unsur kedua
dalam studi kebijakan publik ialah masalah. Dalam unsur ini seharusnya
kebijakan tentang perubahan persyaratan untuk calon independen tidak perluh di
keluarkan karena Qanun sebelumnya dapat
di terimah dan berjalan dengan baik di dalam masyarakat, yang harusnya kebijakan di keluarkan untuk
memecahkan masalah pada tahap ini kebijakan yang akan di keluarkan pemerintah
menyebabkan masalah.
Unsur ketiga
ialah tuntutan. Sudah di ketahui bahwa partisipasi merupakan indikasi dari
masyarakat maju (Huntington, 1990). Partisiapasi dapat berbentuk dukungan atau
tuntutan dan pertentangan atau kritik. Kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah
menyebabkan partisipasi yang bersifat pertentangan atau kritik karena kebijakan
yang akan di keluarkan pemerintah menyebabkan sepitnya ruang demokrasi yang
merugikan kepentingan mereka.
Unsur keempat
dari kebijakan adalah dampak (outcome). Apabilah ke tiga unsur di atas
bertentangan dengan nilai dan kepentingan masyarakat. Maka dampak dari kebijakan
yang akan di keluarkan, juga akan merugikan masyarakat itu sendiri akibat
akhirnya masyarakat akan membrontak dan berbalik melawan pemerintah.
Kebijakan
merupakan alat atau cara untuk memecahkan masalah yang sudah ada. Yang menjadi
dasar pembuatan kebijakan adalah masalah. Tanpa ada masalah tidak perluh ada
kebijakan baru. Untuk keberhasilan pemecahan masalah dibutuhkan solusi yang
tepat terhadap masalah yang tepat. Apa yang sering kali dimaksudkan dengan
masalah sebenarnya bukan masalah, melainkan geejalah masalah. Oleh sebab itu,
dalam banyak hal kita memecahkan masalah, tetapi memecahkan gejalah masalah.
Ini semua bersumber pada ketidak mampuan untuk mengindentifikasi masalah secara
benar.
Sebelum membuat
kebijakan pemerintah perluh memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan merupakan
implikasi dari strategi pembangunan yang berbasis pada masyarakat. Apabila
dalam kebijakan mengkesampingkan rakyat akan menyebabkan kebijakan itu menjadi
aturan yang mati dan di rasakan menjadi kekangan terhdap kehidupan
bermasyarakat. Karena dalam prosesnya tidak melibatkan rakyat. Akiabatnya
kebijaksanaan itu di rasakan hanya menampung aspirasi dan kepentingan
sekelompok elit yang berkuasa. Keadaan ini pada gilirannya dapat memancing
terjadinya banyak perlawanan di kalangan masyarakat kepada pemerintah ,
meskipun dengan kebijakan itu di harapkan dapat memperbaiki kehidupan rakyat.
BAB
III
KESIMPULAN
Dari
uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Negara yang demokratis memiliki keunggulan
tersendiri karena dalam setiap pengambilan kebijakan mengacu pada aspirsi
masyarakat. Masyarakat yang sebagai tokoh utama dalam sebuah Negara demokrasi memiliki peranan yang sangat
penting. Salah satu peranan masyarakat dalam Negara demokrasi adalah
partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik diiringi juga dengan
terjalinya komunikasi yang baik dari pemerintah kepada rakyatnya.
Komunikasi
politik yang baik akan menciptakan masyarakat yang cerdas sehingga akan
mendongkrak tingakat partisipasi dalam segalah bidang. Dengan demikian aspirasi
yang terealisasikan akan berdampak pada kesejateraan yang menjadi salah satu
konsep dari demokrasi.
DAFTAR PUSTAKA
Mardikanto,Totok dan Poerwoko Soebiato. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif
Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Nugroho D, Riant. 2004. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi Dan Evaluasi. Jakarta: PT.
Elex Media Komputindo.
Zainal
Abidin, Said. 2012. Kebijakan Publik. Jakarta : Selemba Humanika.
Qanun Aceh Nomer
5 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Gubernur / Wakil Gubernur/ Bupati/ Wakil Bupati
Dan Walikota / Wakil Wali Kota.
Diperbanyak oleh : Sekertariat DPRA. Tahun 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar