Senin, 09 Mei 2016

Analaisis Kebijakan DPR Tentang Perubahan Qanun Persyaratan Calon Independent

Rencana DPRA  Dalam Perubahan Qanun Tentang Persyaratan Calon Independen Pada Pilkada 2012 Dalam Perspektif Kebijakan Publik

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur kita panjatkan kepada Allah SWT. Salawat dan salam kita kirimkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad Saw, karena atas hidayah-Nyalah paper ini dapat diselesaikan. Paper ini penulis sampaikan kepada pembina mata kuliah Kebijakan Publik Bapak/Ibu sebagai salah satu  tugas dari mata kuliah tersebut. Tidak lupa Penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak/Ibu yang telah berjasa mencurahkan ilmu kepada penulis selama ini.
Penulis memohon kepada Bapak/Ibu dosen khususnya, umumnya para pembaca apabila menemukan kesalahan atau kekurangan dalam karya tulis ini, baik dari segi bahasanya maupun isinya, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun kepada semua pembaca demi lebih baiknya karya-karya tulis yang akan datang.
 

BAB I
ABSTRAK

Rencana perubahan Qanun Pilkada Aceh tentang syarat untuk calon independen jadi sorotan semua kalangan. Detik- detik rencana perubahan Qanun ada berbagai pro kontra terkait revisi UU Pilkada tentang persyaratan dukungan bagi calon independent.
Seperti pendapat ketua DPW PKB Aceh sekaligus Anggota DPR RI H. Irmawan, S.Sos, MM mengatakan, revisi UU Pilkada penting untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam menjalankan demokrasi Indonesia. H. Irmawan yang juga merupakan salah satu Panitia Kerja (Panja) yang dibentuk oleh Komisi II DPR RI ini mengaku optimis revisi UU Pilkada tersebut akan disetujui.
Sedangkan Aryos Nivada, sebagai Pengamat Politik dan Keamanan Aceh menilai, dengan memperberat syarat bagi calon independent menunjukan sikap pengecut dan paranoid dari partai politik yang berada di parlemen, karena dianggap tidak siap bersaing secara fair dengan kandidat dari jalur independent. Menurutnya, hal tersebut adalah bukti kemunduran sikap berdemokrasi dari anggota dewan berlatar belakang partai politik yang menyusun draf qanun pilkada.
Baik yang pro maupun kontra keduanya menginginkan kebijakan yang di keluarkan pemerintah Aceh untuk kepentingan bersama. Namun yang perluh di ingat bahwa kebijakan dalam segalah bentuknya tidak boleh lepas dari nilai-nilai tradisional yang di anut, Jika kebijaksanaan di harapkan menjadi aturan dalam masyarkat. Kerena setiap kebijakan mempunyai konsekuensi dan mengenai masyarakat secara menyeruluh.

  
BAB II
PEMBAHASAN

Secara harfiah, ilmu kebijakan merupakan terjemahan langsung dari kata policy science. Public policy memiliki tiga konotasi yaitu pemerintah, masyarakat dan umum. Hal ini dapat di lihat dari dimensi subjek, objek dan lingkungan dari kebijakan. Dalam di mensi subjek kebijakan public adalah kebijakan dari pemerintah, sehingga salah satu ciri kebijakan adalah “ what government do or not to do’’. kebijakan dari pemerintahlah yang dapat di anggap sebagi kebijakan yang resmi, sehingga mempunyai kewenangan yang dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya.
Pengertian kebijakan public menurut parah ahli :
Easton (1969), Kebijakan publik diartikan sebagai pengalokasian nilai-nilai kekuasaan untuk seluruh masyarakat yang keberadaannya mengikat. Dalam hal ini hanya
pemerintah yang dapat melakukan suatu tindakan kepada masyarakat dan
tindakan tersebut merupakan bentuk dari sesuatu yang dipilih oleh pemerintah
yang merupakan bentuk dari pengalokasian nilai-nilai kepada masyarakat.
James E. Anderson , Kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah
James E. Anderson (1970) mengelompokkan jenis-jenis kebijakan publik sebagai berikut:
1.      Substantive and Procedural Policies.
Ø  Substantive Policy. Suatu kebijakan dilihatdari substansi masalahyangdihadapi oleh pemerintah. Misalnya: kebijakan pendidikan, kebijakan ekonomi, dan Iain-lain.
Ø  Procedural Policy. Suatu kebijakan dilihatdari pihak-pihak yang terlibatdalam perumusannya (Policy Stakeholders).
2.      Distributive, Redistributive, and Regulatory Policies.
Ø  Distributive Policy, Suatu kebijakan yang mengatur tentang pemberian pelayanan/keuntungan kepada individu-individu, kelompok-kelompok, atau perusahaan-perusahaan. Contoh: kebijakan tentang "Tax Holiday"
Ø  Redistributive Policy, Suatu kebijakan yang mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan, pemilikan, atau hak-hak. Contoh: kebijakan tentang pembebasan tanah untuk kepentingan umum.
Ø  Regulatory Policy. Suatu kebijakan yang memgatur tentang pembatasan/ pelarangan terhadap perbuatan/tindakan. Contoh: kebijakan tentang larangan memiliki dan menggunakan senjata api.
3.      Material Policy. Suatu kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian/ penyediaan sumber-sumber material yang nyata bagi penerimanya. Contoh: kebijakan pembuatan rumah sederhana.
4.      Public Goods and Private Goods Policies.
Ø  Public Goods Policy. Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang-barang/pelayanan-pelayanan oleh pemerintah, untuk kepentingan orang banyak
Contoh: kebijakan tentang perlindungan keamanan, penyediaan jalan umum.
Ø  Private Goods Policy. Suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan barang-barang atau pelayanan oleh pihak swasta, untuk kepentingan individu-individu (perorangan) dipasar bebas, dengan imbalan biaya tertentu.
Contoh: kebijakan pengadaan barang-barang atau pelayanan untuk keperluan perorangan, misalnya tempat hiburan, hotel, dan lain-lain.
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 23 Juli 2007, pasaran partai politik sebagai "kendaraan" menuju pencalonan kepala daerah mulai menurun. Partai politik tidak lagi memegang monopoli tiket untuk maju memperebutkan kursi kepala daerah dan wakil kepala daerah. Calon perseorangan atau yang lebih dikenal dengan calon independen kepala daerah dan wakil kepala daerah dapat tampil tanpa melalui partai politik atau gabungan partai politik. Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut disambut dengan penuh semangat oleh para pendukung calon independen. Sementara itu kalangan partai politik tidak bisa menolak putusan Mahkamah  Konstitusi. Sebab putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final dan memperoleh kekuatan hukum tetap sejak selesai diucapkan pada sidang pleno Mahkamah Konstitusi yang terbuka untuk umum.
Apabila demokratisasi dimaknai sebagai perluasan partisipasi politik dan kesediaan untuk berkompetisi secara fair, maka tampilnya calon independen tidak perlu dirisaukan oleh partai politik. Fungsi rekruitmen politik yang dimiliki oleh partai politik tidak akan direduksi. Tetapi patut diakui bahwa partai politik tidak lagi menjadi "agen tunggal" rekruitmen politik.
Tampilnya calon independen memang membuat kompetisi semakin kompleks dan ketat. Kompetisi tidak saja terjadi antar partai politik yang mengusung calonnya masing- masing, tetapi juga terjadi antara partai politik dengan calon independen. Sudah tentu persaingan yang semakin ketat tersebut "memaksa" partai politik untuk membenahi dirinya dengan melakukan konsolidasi wawasan, konsolidasi organisasi dan konsolidasi kader.  
Partai politik mau tidak mau akan mengembangkan demokrasi internal, mempertajam visi dan misi politiknya agar lebih aspiratif. Partai politik juga perlu membangun organisasinya sesuai dengan prinsip-prinsip organisasi modern dengan manajemen yang efektif, jaringan yang luas didukung oleh sumber daya yang memadai. Disamping itu partai politik perlu lebih serius mencetak kader-kader kepemimpinan yang memiliki prestasi, dedikasi, integritas pribadi, dukungan konstituen yang jelas dan mempunyai komitmen untuk membangun bangsanya.
Yang penting untuk dijaga adalah agar perluasan partisipasi dan persaingan tersebut tidak membawa akses pada perluasan konflik horizontal ditengah-tengah masyarakat yang dipicu oleh fanatisme sempit, primordialisme dan persaingan yang tidak fair. Aturan hukum harus mampu membangun koridor untuk mencegah konflik atau  menyediakan mekanisme penyelesaian konflik yang adil dan efektif. Selain itu tingkat kedewasaan politik para aktor politik merupakan faktor yang cukup penting dalam menciptakan iklim yang kondusif untuk perluasan partisipasi dan persaingan dalam proses demokrasi. Apakah kebijakan tentang persyaratan calon independent yang lalu menjadi batu sandungan dalam proses demokrasi sehingga di perluhkannya revisi untuk pemilu mendatang?. Memahami manfaat dan danpak dari kebijakan pemerintah Aceh dalam merevisi Qanun pemilu untuk calon independent akan di jelaskan lebih lanjut.
Badan legislatif DPRA Aceh merencanakan perubahan Qanun Pilkada Aceh tentang syarat untuk calon independen pada pilkada 2017. Lembaga itu melakukan pembahasan perubahan Qanun Pilkada Nomor 5 Tahun 2012. Bertempat di ruang Badan Muswarah (Banmus) DPRA, Senin 11 April 2016. Ada dua hal penting yang direncanakan akan diubah. Pertama setiap calon harus mengundurkan diri dari jabatan PNS, DPR, DPD, TNI dan POLRI. Selain itu, bagi calon perseorangan (independen) syarat dukungan KTP akan diperberat.
Dalam klausul draft Qanun dibahas mengenai  bahwa anggota DPR, DPD, DPRA, DPRK, PNS, TNI, POLRI, harus mundur dari jabatannya saat ditetapkan sebagai pasangan calon. untuk calon perseorangan, DPRA dan eksekutif juga sepakat mengubah syarat pengajuan bakal calon kepala daerah untuk jalur ini.
Pernyataan dukungan harus dibuat secara individu. Tidak boleh kolektif sebagaimana diatur dalam Qanun pilkada sebelumnya. Setiap lembar KTP harus disertakan surat dukungan yang wajib dilengkapi dengam materai dan tanda tangan pendukung,. Perubahan syarat pengajuan bakal calon dari jalur independen itu disepakati dalam pembahasan lanjutan. Perubahan Qanun Pilkada Nomor 5 Tahun 2012, Senin 12 April 2016.
Pasal yang mengatur syarat dukungan calon independen ini terdapat pada Pasal 24, huruf a, b, c, d, e, f, g. Pada huruf ‘a’syarat jumlah dukungan untuk pengajuan bakal calon independen adalah sebesar 3 persen dari jumlah penduduk, yang tersebar sekurang-kurangnya 50 persen dari jumlah kecamatan untuk pemilihan bupati atau wakil bupati, atau wali kota atau wakil wali kota.
Dari sudut pandangan kebijakan publik, baik atau tidaknya kebijakan yang akan di keluarkan pemetrintah Aceh tentang perubahan mengenai syarat bagi calon independen untuk pilkada 2017. Rumusan kebijakan pemerintah tentang syarat bagi calon independen dapat kita lihat dari perseptif unsur kebijakan publik :
Unsur yang pertama dilihat dari tujuan kebijakan. Tujuan kebijakan perubahan persyaratan bagi calon independent menurut pernyataan Ketua Komisi II DPR, Rambe Kamarulzaman. Bahwa perdebatan soal perubahan syarat itu berawal dari adanya masukan bahwa syarat calon kepala daerah saat ini masih belum adil. Di satu sisi, syarat untuk maju sebagai calon kepala daerah atau wakil kepala daerah dari partai politik dinilai lebih berat. Syaratnya, 20 persen kursi DPRD dari satu atau gabungan parpol, atau 25 persen jumlah raihan suara. Di sisi lain, Mahkamah Konstitusi (MK) sudah mematok syarat majunya calon perseorangan adalah 6,5-10 persen dari jumlah pemilih pada pemilu/pilkada sebelumnya. Soal ketidakadilan itu juga diakui oleh Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi PKB, Lukman Edy. Perbedaan syarat tersebut dinilai jauh dari asas berkeadilan, sehingga harus disamakan. Oleh karena itu, syarat 6,5 sampai 10 persen untuk calon perseorangan, ada pikiran di DPR dari beberapa fraksi, untuk dinaikkan.
Dari staigmen di atas kebijakan yang di keluarkan pemerintah dari segi tujuannya kurang memenuhi syarat untuk diubah karena tujuan kebijakan yang baik sekurang-kuranya harus memiliki empat kriteria yaitu yang pertama kebijakan yang di keluarkan harus diterimah banyak pihak atau tidak bertentangan dengan nilai -nilai yang dianut oleh masyarakat. Kedua mewakili kepentingan mayoritas  atau di dukung oleh golongan yang kuat dari masyarakat. Ketiga tujuan di keluarkannya kebijakan harus masuk akal (logis) dan mempunyai gambaran yang jelas. Keempat, kebijakan tersebut mempunyai orientasi kedepan.
Dari keempat kriteria di atas kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah tidak memiliki tujuan dan arah yang jelas dapat di lihat dari bertentangannya kriteria pertama dimana kebijakan yang akan dikeluarkan bertentangan degan nilai dasar dari masyarakat Aceh secara umum. Aceh sebagai pelopor lahirnya calon perseorangan dan Aceh juga yang membuka ruang bagi sumbatan demokrasi yang awalnya tiap partisipasi hanya boleh lewat partai politik. Ini sumbangan bagi memperkaya tradisi berdemokrasi di Indonesia. Juga bagian partispasi rakyat secara langsung sebagai pemilik sah demokrasi upaya pemberatan aturan terhadap jalur yang seharusnya bebas hambatan ini, adalah pembajakan sistematis terhadap demokrasi.
Kriteria kedua, kebijakan yang akan dikeluarkan hanya mementingkan kepentingan individu atau kelompok. Karena pemerintah Aceh tidak memperhitungkan keberadaan organisasi dan peraturan yang berlaku di dalam masyarakat. Dapat di lihat tidak adanya sosialisasi atau partisipasi masyarakat yang harusnya menjadi factor pendukung atau input dalam menetapkan kebijakan.
Kriteria ketiga, tujuan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan diatas tidak logis dalam mendukung masyarakat dan tidak memiliki gambaran yang jelas pentingnya kebijakan itu bagi masyarakat.
Kriteria keempat, kebijakan yang akan di keluarkan tidak berorintasi ke depan dimana kebijakan tersebut akan menimbulkan dampak negative dari masyarakat yaitu mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah dalam memperjuangkan nilai-nilai dalam mayarakat yang pernah di janjikan, mengurangi partisipasi masyarakat, dan dapat mematikan nilai demokrasi. Dengan di keluarkannya kebijakan itu juga dapat menyebabkan meningkatnya angka korupsi. Dimana kebijakan persyaratan calon independent membutuhkan biyayah yang tidak sedikit, hal ini akan menimbulkan harapan untuk mengembalikan pengeluaran dalam memenuhi persyaratan tersebut akibatnya di masa jabatan akan mudah terjadinya penyelewengan dana (korupsi).
Unsur kedua dalam studi kebijakan publik ialah masalah. Dalam unsur ini seharusnya kebijakan tentang perubahan persyaratan untuk calon independen tidak perluh di keluarkan karena  Qanun sebelumnya dapat di terimah dan berjalan dengan baik di dalam masyarakat,  yang harusnya kebijakan di keluarkan untuk memecahkan masalah pada tahap ini kebijakan yang akan di keluarkan pemerintah menyebabkan masalah.
Unsur ketiga ialah tuntutan. Sudah di ketahui bahwa partisipasi merupakan indikasi dari masyarakat maju (Huntington, 1990). Partisiapasi dapat berbentuk dukungan atau tuntutan dan pertentangan atau kritik. Kebijakan yang akan dikeluarkan pemerintah menyebabkan partisipasi yang bersifat pertentangan atau kritik karena kebijakan yang akan di keluarkan pemerintah menyebabkan sepitnya ruang demokrasi yang merugikan kepentingan mereka.
Unsur keempat dari kebijakan adalah dampak (outcome). Apabilah ke tiga unsur di atas bertentangan dengan nilai dan kepentingan masyarakat. Maka dampak dari kebijakan yang akan di keluarkan, juga akan merugikan masyarakat itu sendiri akibat akhirnya masyarakat akan membrontak dan berbalik melawan pemerintah.
Kebijakan merupakan alat atau cara untuk memecahkan masalah yang sudah ada. Yang menjadi dasar pembuatan kebijakan adalah masalah. Tanpa ada masalah tidak perluh ada kebijakan baru. Untuk keberhasilan pemecahan masalah dibutuhkan solusi yang tepat terhadap masalah yang tepat. Apa yang sering kali dimaksudkan dengan masalah sebenarnya bukan masalah, melainkan geejalah masalah. Oleh sebab itu, dalam banyak hal kita memecahkan masalah, tetapi memecahkan gejalah masalah. Ini semua bersumber pada ketidak mampuan untuk mengindentifikasi masalah secara benar.
Sebelum membuat kebijakan pemerintah perluh memberdayakan masyarakat. Pemberdayaan merupakan implikasi dari strategi pembangunan yang berbasis pada masyarakat. Apabila dalam kebijakan mengkesampingkan rakyat akan menyebabkan kebijakan itu menjadi aturan yang mati dan di rasakan menjadi kekangan terhdap kehidupan bermasyarakat. Karena dalam prosesnya tidak melibatkan rakyat. Akiabatnya kebijaksanaan itu di rasakan hanya menampung aspirasi dan kepentingan sekelompok elit yang berkuasa. Keadaan ini pada gilirannya dapat memancing terjadinya banyak perlawanan di kalangan masyarakat kepada pemerintah , meskipun dengan kebijakan itu di harapkan dapat memperbaiki kehidupan rakyat.



BAB III
KESIMPULAN

Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Negara yang demokratis memiliki keunggulan tersendiri karena dalam setiap pengambilan kebijakan mengacu pada aspirsi masyarakat. Masyarakat yang sebagai tokoh utama dalam sebuah Negara   demokrasi memiliki peranan yang sangat penting. Salah satu peranan masyarakat dalam Negara demokrasi adalah partisipasi masyarakat dalam pembuatan kebijakan publik diiringi juga dengan terjalinya komunikasi yang baik dari pemerintah kepada rakyatnya.
Komunikasi politik yang baik akan menciptakan masyarakat yang cerdas sehingga akan mendongkrak tingakat partisipasi dalam segalah bidang. Dengan demikian aspirasi yang terealisasikan akan berdampak pada kesejateraan yang menjadi salah satu konsep dari demokrasi.



DAFTAR PUSTAKA

Mardikanto,Totok dan Poerwoko Soebiato. 2003. Pemberdayaan Masyarakat Dalam Perspektif Kebijakan Publik. Bandung: Alfabeta.
Nugroho D, Riant. 2004. Kebijakan Publik Formulasi, Implementasi Dan Evaluasi. Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Zainal Abidin, Said.  2012. Kebijakan Publik. Jakarta : Selemba Humanika.
Qanun Aceh Nomer 5 Tahun 2012 Tentang Pemilihan Gubernur / Wakil Gubernur/ Bupati/ Wakil Bupati Dan Walikota / Wakil Wali  Kota. Diperbanyak oleh : Sekertariat DPRA. Tahun 2012.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar