INDONESIA DENGAN PARTAI POLITIK IDIOLOGI ABU-ABU
Kelahiran
partai politik sedianya adalah buah dari pertarungan idiologi antar kekuatan
yang ada dalam masyarakat. Ia muncul sebagai representasi kepentingan warga
negara. (Firman Subagyo,2009:57)
Bila kita melihat sejarah, partai politik lahir sebagai wadah untuk menampung
ekspresi kebebasan individu untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan
publik.
Dalam
Kamus Bahasa Indonesia, Partai diartikan sebagai perkumpulan yang seasas,
sehaluan, setujuan dalam ketatanegaraan. Sedangkan politik ialah siasat,
segalah urusan dan tindakan kebijaksanaan atau pengetahuan mengenai
ketatanegaraan. (Desy
Anwar, 2003: 312)
Sigmund Neumann mendefinisikan partai politik adalah
organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan
pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu
golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Partai politik berangkat dari anggapan
bahwa dengan membentuk wadah organisasi mereka bisa menyatuhkan orang-orang
yang mempunyai pemikiran serupa sehingga pemikiran dan orientasi mereka bisa
dikonsolidasikan. Dengan begitu pengaruh mereka bisa lebih besar dalam
pembuatan dan pelaksanaan keputusan. (Meriam Budiardjo, 2008: 403)
Bagi bangsa Indonesia kehadiran sistem multi partai
ialah untuk mengimbangi sifat atau budaya dasar masyarakat Indonesia yang
sangat plural. Keaneka ragam partai diharapkan dapat menampung segalah
idiologi-idiologi dari masyarakat majemuk (multikultur).
Partai politik tanpa idiologi bagai sayur
tanpa garam (tidak ada rasanya). Tapi kenyataannya situasi perpolitikan di Indonesia
justru berbicara lain. Sepertinya sayur tanpa garampun oke-oke saja. Entah
karena faktor lida kita yang bermasalah atau karena faktor lainnya. Yang pasti
sayur tanpa garam dirasakan enak. Paling tidak begitulah yang berlaku di partai
politik Indonesia. Celakanya lagi, membicarakan idiologi politik seolah-olah
menjadi aneh dewasa ini. Belum lagi ditambah dengan pengalaman Indonesia dimasa
lalu tentang idiologi komunis. Hal ini membuat kata idiologi politik sangat
bernuansa represif, dominatif, manipulatif, otoriter dan dogmatis. Karenanya menjadi
tabu bagi kita untuk mengangkat idiologi sebagai bahan diskusi dan wacana
politik.(Firmanzah,2001:86) Faktanya diera modern sekarang idiologi
dominan di Indonesia seolah-olah tidak berlaku, setiap partai yang lahir tidak
memiliki jati diri.
Indonesia sedang mengalami musim hujan partai
politik dengan idiologi yanga abu-abu. Idiologi bagi partai politik tanpaknya
menjadi tidak penting. Semangat pragmatisme dan konsumerisme mewarnai kehidupan
politik di Indonesia dimana para politisi terjebak dalam hal-hal yang bersifat
jangka pendek dan berbauh kepentingan individual. Idiologi hanya hadir semasa
kampanye pemilu sebagai produk untuk menarik kalangan tertentu, bisa dikatakan
hanya sekedar aksesoris partai. Idiologi harusnya memiliki kedudukan utama dalam
kehidupan politik, karena idiologi melingkupi semua sistem nilai, keyakinan,
simbol dan pandangan berprilaku yang harusnya diperjuangkan partai politik.
Pentingnya kedudukkan ideologi bagi suatu partai, agar kita dapat mengenal jati
dirinya, memahami jalan pikir, dan tahu bagaimana kita menyikapinya. Ideologi
resmi partai dapat kita ketahui dari apa yang tertulis dalam anggaran dasarnya,
sering kali ideologi tertulis mereka tidak sejalan dengan aktifitas politik
mereka. Kaburnya idiologi ini terlihat dalam pembentukan koalisi yang dilakukan
partai politik di tingkat nasional maupun tingkat lokal.
Partai politik memang sebagai alat perjuangan
untuk mengorganisir rakyat dengan tujuan merebut kekuasaan. Tetapi
kekuasaan itu seharusnya didasarkan pada
suatu ideologi, suatu impian yang membuat kesejahteraan bagi seluruh rakyat
Indonesia. Ideologi dalam partai politik tidak hanya sekedar pengikat lahir dan
batin antara para anggotanya, tetapi merupakan rohnya suatu partai poitik untuk
mencapai suatu tujuan besar, bukan tujuan pribadi atau golongan yang sesaat
(pragmatis). Bagaimana pendapat anda tentang sikap para elit-elit politik yang
dengan mudahnya berpindah-pindah partai? Atau jika tidak sejalan dengan
kepentingannya, dengan mudahnya ia mendirikan partai baru. Apa yang bisa kita
harapkan pada elit-elit yang hanya memperjuangkan kepentingan pribadi atau
keleompoknya itu. Dan apakah anda masih
berharap pada mereka?.
Untuk lebih jauh kita akan melihat dampak
partai politik dengan idiologi abu-abu dalam institusionalisasi partai politik.
Institusionalisasi
adalah Proses pemantapan partai politik baik secara struktural dalam rangka
mempolakan prilaku maupun secara kultural dalam mempolakan sikap atau budaya. (Randall
& Svasand, 2002.)
Apabilah
kita ingin mengukur kelembagaan partai dapat menggunakan Teori Randdal Dengan
indikator sebagai berrikut :
1. Teori
Kesisteman
Ø Asal
usul partai politik. Suatu partai akan lahir bila ada dorongan dan dukungan
untuk membentuk partai tersebut. Tentunya untuk mendapatkan dukungan tersebut
partai akan menjual indentitas nilainya yang berdasarkan pada idiologi. Indentitas
nilai ini terkait erat dengan basis dukungan. Namun seperti waktu yang terus
berlalu idiologi pada partai tersebutpun dari waktu kewaktu mulai memudar.
Butuhnya kejelasan idiologi bagi seuatu partai akan membantu partai tersebut
terus eksis dan berumur panjang.
Ø Sumber
daya partai. Kejelasan idiologi sangat membantu menarik para relawan untuk
menyumbang atas kesamaan idiologi atau cita-cita tanpa adanya kepentingan lain.
Begitu juga dengan para kader-kader partai yang ikut menghidupkan keuangan
partai dengan tujuan bersama.
Ø Kepemimpinan.
Idiologi yang abu-abu menyebabkan partai tersebut disaingi oleh tokoh-tokoh
individual yang bisa jadi lebih besar dari partai tersebut. Tidak adanya ikatan
idiologi yang dimiliki oleh para kader-kader partai akan mnyebabkan partai
tersebut dibangun berbasis kepentingan. Dalam hal ini tentu akan meyebabkan
perpecahan partai karena pemimpin partai tidak mampu mengkomodir setiap
perbedaan aspirasi yang didasarkan kepada kepentingan individual anggota
partai.
Ø Faksionalisme.
Partai yang terlembaga tentu dibangun untuk mewujudkan cita-cita bersama.
Bagaimana suatu partai dapat mewujudkan cita-cita bersama apabila setiap anggotanya
di bangun oleh kepentingan. Tentu dalam hal ini partai hanya sebagai kedaraan
untuk memperjuangkan kepentingan individu atau kelompoknya dan mengkesampikan
kepentingan masyarakat yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya.
Ø Implikasi
klientelisme. Setiap anggota yang diikat selain dari ikatan idiologi akan
berdampak pada ketidak wajaran prilaku para kader partai, baik prilaku
eksternal maupun internal.
2. Identitas
nilai. Idiologi akan menjadi landasan prilaku setiap anggota partai. Setiap
anggota partai memiliki ikatan lahir dan batin karena bersikap yang didasarkan
untuk memperjuangkan cita-cita atau kepentingan bersama.
3. Otonomi
keputusan, difase ini idiologi menjadi penting karena idiologi adalah landasan
dalam pengambilan keputusan atau kebijakan. Idiologi mampu untuk mengikat
elit-elit partai untuk tetap dalam jalur dalam memperjuangkan cita-cita
bersama. Apabilah partai tidak memiliki idiologi, partai tersebut akan memiliki
ruang untuk aktor luar masuk dan mempengaruhi keputasan internal partai dan memperjuangkan
kepentingan pribadi atau individunya.
4. Relfikasi.
Idiologi dapat mengikat prilaku para anggotanya. Prilaku yang berlandaskan idiologi
tersebut akan meningkatkan kepercayaan publik untuk memberikan dukungan,
idiologi mampu membuat konsetuen untuk loyal kepadanya dengan menarik masa
untuk berjuang secara sukarela dan idiologi juga mampu mengikat kesitian
penganutnya.
Agar
sebuah kepartaian mampu menompang secara kokoh jalannya demokrasi dan
stabilitas politik, perlembagaan partai menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terhindarkan.
Perlembagaan partai akan menjadikan partai berkerja dalam koridor fungsi-fungsi
yang semestinya.(Sigit Pamungkas,2011: 63) Partai
politik akan semakin kuat apabila ia mampu melembagakan dukungan masa, dengan keterlembagaannya
suatu partai juga akan mengurangi dampak terjadinya perpecahan partai dan
memperpanjang umur partai tersebut. Namu partai tidak akan terlembaga dengan
baik apabila partai beridiologi abu-abu. Karena kekaburan idiologi akan menyebabkan kurangnya keberpihakan
publik, dimana masyarakat kesulitan mengindentifikasi partai dan ragu dalam
meilihat apakah partai yang nilainya saja sulit diindentiikasi akan pro kepada
rakyat. Yang paling penting idiologi abu-abu ini juga menyebabkan kurangnya akutabilitas
partai.
Baik dari segi teori maupun dari segi fakta
yang perluh kita ketahui bahwa kejelasan idiologi bagi suatu partai sangat
penting. Karena idiologi merupakan arah dan petunjuk tentang indentitas partai
politik, sekaligus menjelaskan kondisi ideal masyarakat yang ingin dibentuk. Idiologi
sebagai suatu kata penting dalam dunia politik telah melalui perjalanan sejarah
yang panjang. Untuk berkuasa dibutuhkan idiologi, kekuasaan tidak akan bisa
dipertahankan tanpa adanya idiologi yang jelas. Motivasi dan dorongan untuk
berkuasa seringkali dibungkus dengan kepentingan golongan. Tidak ada perjuangan
golongan tanpa adanya idiologi yang jelas. Idiologilah yang mendorong orang
untuk bergabung, aktif, bahkan sampai mempertaruhkan nyawa demi bentuk-bentuk
kebenaran yang diyakini abssolusitasnya.
Dengan memberikan dasar etika pada
pelaksanaan kekuasaan politik, idiologi juga bisa mempersatukan rakyat suatu
negara atau pengikut suatu negara yang berusaha mengubah negara. Idiologilah
yang memungkinkan adanya komunikasi simbolis antara pemimpin dan yang dipimpin,
untuk berjuang bahu-membahu demi prinsip bukan pribadi. Idiologi juga pendoman
untuk memilih kebijakan dan prilaku politik. Dan idiologi memberikan cara
kepada mereka yang menginginkannya serta kepada yang yakin akan arti
keberadaannya dan tujuan tidakannya. Oleh karena itu keberhasilan suatu
idiologi tertentu, sedikit banyaknya merupakan masalah kepercayaan yang lahir
dari keyakinan yang rasional. (Carlton Clymer Rodee dkk, 2000: 105)
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, Desy. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia.
Surabaya: Amelia, 2003.
Budiardjo, Meriam. Dasar-Dasar
Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2008.
Clymer Rodee, Carlton.
Carl Quimby Christol. Totton James Anderson dkk. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Firmanzah. Mengelolah partai politik (Komunikasi Dan
Positioning Idiologi Politik Di Era Demokrasi). Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2001.
Pamungkas, Sigit. Parta Politik ( Teori dan Praktik Di
Indonesia). Yogyakarta: Perum Griya Saka Permai, 2011.
Subagyo, Firman. Menata Partai Politik ( Dalam Arus
Demokratisasi Indonesia). Jakarta: RMBOOKS, 2009.
Banda Aceh, 03 Mei 2016
Putri Aulia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar