Senin, 02 Mei 2016

ARTIKEL "INDONESIA DENGAN PARTAI POLITIK IDIOLOGI ABU-ABU"




 
INDONESIA DENGAN PARTAI POLITIK IDIOLOGI ABU-ABU

Kelahiran partai politik sedianya adalah buah dari pertarungan idiologi antar kekuatan yang ada dalam masyarakat. Ia muncul sebagai representasi kepentingan warga negara. (Firman Subagyo,2009:57) Bila kita melihat sejarah, partai politik lahir sebagai wadah untuk menampung ekspresi kebebasan individu untuk terlibat dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia, Partai diartikan sebagai perkumpulan yang seasas, sehaluan, setujuan dalam ketatanegaraan. Sedangkan politik ialah siasat, segalah urusan dan tindakan kebijaksanaan atau pengetahuan mengenai ketatanegaraan. (Desy Anwar, 2003: 312) Sigmund Neumann mendefinisikan partai politik adalah organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat melalui persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda. Partai politik berangkat dari anggapan bahwa dengan membentuk wadah organisasi mereka bisa menyatuhkan orang-orang yang mempunyai pemikiran serupa sehingga pemikiran dan orientasi mereka bisa dikonsolidasikan. Dengan begitu pengaruh mereka bisa lebih besar dalam pembuatan dan pelaksanaan keputusan. (Meriam Budiardjo, 2008: 403)
Bagi bangsa Indonesia kehadiran sistem multi partai ialah untuk mengimbangi sifat atau budaya dasar masyarakat Indonesia yang sangat plural. Keaneka ragam partai diharapkan dapat menampung segalah idiologi-idiologi dari masyarakat majemuk (multikultur).
Partai politik tanpa idiologi bagai sayur tanpa garam (tidak ada rasanya). Tapi kenyataannya situasi perpolitikan di Indonesia justru berbicara lain. Sepertinya sayur tanpa garampun oke-oke saja. Entah karena faktor lida kita yang bermasalah atau karena faktor lainnya. Yang pasti sayur tanpa garam dirasakan enak. Paling tidak begitulah yang berlaku di partai politik Indonesia. Celakanya lagi, membicarakan idiologi politik seolah-olah menjadi aneh dewasa ini. Belum lagi ditambah dengan pengalaman Indonesia dimasa lalu tentang idiologi komunis. Hal ini membuat kata idiologi politik sangat bernuansa represif, dominatif, manipulatif, otoriter dan dogmatis. Karenanya menjadi tabu bagi kita untuk mengangkat idiologi sebagai bahan diskusi dan wacana politik.(Firmanzah,2001:86) Faktanya diera modern sekarang idiologi dominan di Indonesia seolah-olah tidak berlaku, setiap partai yang lahir tidak memiliki jati diri.
Indonesia sedang mengalami musim hujan partai politik dengan idiologi yanga abu-abu. Idiologi bagi partai politik tanpaknya menjadi tidak penting. Semangat pragmatisme dan konsumerisme mewarnai kehidupan politik di Indonesia dimana para politisi terjebak dalam hal-hal yang bersifat jangka pendek dan berbauh kepentingan individual. Idiologi hanya hadir semasa kampanye pemilu sebagai produk untuk menarik kalangan tertentu, bisa dikatakan hanya sekedar aksesoris partai. Idiologi harusnya memiliki kedudukan utama dalam kehidupan politik, karena idiologi melingkupi semua sistem nilai, keyakinan, simbol dan pandangan berprilaku yang harusnya diperjuangkan partai politik. Pentingnya kedudukkan ideologi bagi suatu partai, agar kita dapat mengenal jati dirinya, memahami jalan pikir, dan tahu bagaimana kita menyikapinya. Ideologi resmi partai dapat kita ketahui dari apa yang tertulis dalam anggaran dasarnya, sering kali ideologi tertulis mereka tidak sejalan dengan aktifitas politik mereka. Kaburnya idiologi ini terlihat dalam pembentukan koalisi yang dilakukan partai politik di tingkat nasional maupun tingkat lokal.
Partai politik memang sebagai alat perjuangan untuk mengorganisir rakyat dengan tujuan merebut kekuasaan. Tetapi kekuasaan  itu seharusnya didasarkan pada suatu ideologi, suatu impian yang membuat kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Ideologi dalam partai politik tidak hanya sekedar pengikat lahir dan batin antara para anggotanya, tetapi merupakan rohnya suatu partai poitik untuk mencapai suatu tujuan besar, bukan tujuan pribadi atau golongan yang sesaat (pragmatis). Bagaimana pendapat anda tentang sikap para elit-elit politik yang dengan mudahnya berpindah-pindah partai? Atau jika tidak sejalan dengan kepentingannya, dengan mudahnya ia mendirikan partai baru. Apa yang bisa kita harapkan pada elit-elit yang hanya memperjuangkan kepentingan pribadi atau keleompoknya itu.  Dan apakah anda masih berharap pada mereka?.  
Untuk lebih jauh kita akan melihat dampak partai politik dengan idiologi abu-abu dalam institusionalisasi partai politik. Institusionalisasi adalah Proses pemantapan partai politik baik secara struktural dalam rangka mempolakan prilaku maupun secara kultural dalam mempolakan sikap atau budaya. (Randall & Svasand, 2002.)  

Apabilah kita ingin mengukur kelembagaan partai dapat menggunakan Teori Randdal Dengan indikator sebagai berrikut :
1.      Teori Kesisteman
Ø  Asal usul partai politik. Suatu partai akan lahir bila ada dorongan dan dukungan untuk membentuk partai tersebut. Tentunya untuk mendapatkan dukungan tersebut partai akan menjual indentitas nilainya yang berdasarkan pada idiologi. Indentitas nilai ini terkait erat dengan basis dukungan. Namun seperti waktu yang terus berlalu idiologi pada partai tersebutpun dari waktu kewaktu mulai memudar. Butuhnya kejelasan idiologi bagi seuatu partai akan membantu partai tersebut terus eksis dan berumur panjang.
Ø  Sumber daya partai. Kejelasan idiologi sangat membantu menarik para relawan untuk menyumbang atas kesamaan idiologi atau cita-cita tanpa adanya kepentingan lain. Begitu juga dengan para kader-kader partai yang ikut menghidupkan keuangan partai dengan tujuan bersama.
Ø  Kepemimpinan. Idiologi yang abu-abu menyebabkan partai tersebut disaingi oleh tokoh-tokoh individual yang bisa jadi lebih besar dari partai tersebut. Tidak adanya ikatan idiologi yang dimiliki oleh para kader-kader partai akan mnyebabkan partai tersebut dibangun berbasis kepentingan. Dalam hal ini tentu akan meyebabkan perpecahan partai karena pemimpin partai tidak mampu mengkomodir setiap perbedaan aspirasi yang didasarkan kepada kepentingan individual anggota partai.
Ø  Faksionalisme. Partai yang terlembaga tentu dibangun untuk mewujudkan cita-cita bersama. Bagaimana suatu partai dapat mewujudkan cita-cita bersama apabila setiap anggotanya di bangun oleh kepentingan. Tentu dalam hal ini partai hanya sebagai kedaraan untuk memperjuangkan kepentingan individu atau kelompoknya dan mengkesampikan kepentingan masyarakat yang sebenarnya menjadi tanggung jawabnya.
Ø  Implikasi klientelisme. Setiap anggota yang diikat selain dari ikatan idiologi akan berdampak pada ketidak wajaran prilaku para kader partai, baik prilaku eksternal maupun internal.
2.      Identitas nilai. Idiologi akan menjadi landasan prilaku setiap anggota partai. Setiap anggota partai memiliki ikatan lahir dan batin karena bersikap yang didasarkan untuk memperjuangkan cita-cita atau kepentingan bersama.
3.      Otonomi keputusan, difase ini idiologi menjadi penting karena idiologi adalah landasan dalam pengambilan keputusan atau kebijakan. Idiologi mampu untuk mengikat elit-elit partai untuk tetap dalam jalur dalam memperjuangkan cita-cita bersama. Apabilah partai tidak memiliki idiologi, partai tersebut akan memiliki ruang untuk aktor luar masuk dan mempengaruhi keputasan internal partai dan memperjuangkan kepentingan pribadi atau individunya.
4.      Relfikasi. Idiologi dapat mengikat prilaku para anggotanya. Prilaku yang berlandaskan idiologi tersebut akan meningkatkan kepercayaan publik untuk memberikan dukungan, idiologi mampu membuat konsetuen untuk loyal kepadanya dengan menarik masa untuk berjuang secara sukarela dan idiologi juga mampu mengikat kesitian penganutnya.
Agar sebuah kepartaian mampu menompang secara kokoh jalannya demokrasi dan stabilitas politik, perlembagaan partai menjadi sebuah kebutuhan yang tidak terhindarkan. Perlembagaan partai akan menjadikan partai berkerja dalam koridor fungsi-fungsi yang semestinya.(Sigit Pamungkas,2011: 63) Partai politik akan semakin kuat apabila ia mampu melembagakan dukungan masa, dengan keterlembagaannya suatu partai juga akan mengurangi dampak terjadinya perpecahan partai dan memperpanjang umur partai tersebut. Namu partai tidak akan terlembaga dengan baik apabila partai beridiologi abu-abu. Karena kekaburan idiologi akan menyebabkan kurangnya keberpihakan publik, dimana masyarakat kesulitan mengindentifikasi partai dan ragu dalam meilihat apakah partai yang nilainya saja sulit diindentiikasi akan pro kepada rakyat. Yang paling penting idiologi abu-abu ini juga menyebabkan kurangnya akutabilitas partai.
Baik dari segi teori maupun dari segi fakta yang perluh kita ketahui bahwa kejelasan idiologi bagi suatu partai sangat penting. Karena idiologi merupakan arah dan petunjuk tentang indentitas partai politik, sekaligus menjelaskan kondisi ideal masyarakat yang ingin dibentuk. Idiologi sebagai suatu kata penting dalam dunia politik telah melalui perjalanan sejarah yang panjang. Untuk berkuasa dibutuhkan idiologi, kekuasaan tidak akan bisa dipertahankan tanpa adanya idiologi yang jelas. Motivasi dan dorongan untuk berkuasa seringkali dibungkus dengan kepentingan golongan. Tidak ada perjuangan golongan tanpa adanya idiologi yang jelas. Idiologilah yang mendorong orang untuk bergabung, aktif, bahkan sampai mempertaruhkan nyawa demi bentuk-bentuk kebenaran yang diyakini abssolusitasnya.
Dengan memberikan dasar etika pada pelaksanaan kekuasaan politik, idiologi juga bisa mempersatukan rakyat suatu negara atau pengikut suatu negara yang berusaha mengubah negara. Idiologilah yang memungkinkan adanya komunikasi simbolis antara pemimpin dan yang dipimpin, untuk berjuang bahu-membahu demi prinsip bukan pribadi. Idiologi juga pendoman untuk memilih kebijakan dan prilaku politik. Dan idiologi memberikan cara kepada mereka yang menginginkannya serta kepada yang yakin akan arti keberadaannya dan tujuan tidakannya. Oleh karena itu keberhasilan suatu idiologi tertentu, sedikit banyaknya merupakan masalah kepercayaan yang lahir dari keyakinan yang rasional. (Carlton Clymer Rodee dkk, 2000: 105)



   
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Desy. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Amelia, 2003.
Budiardjo, Meriam. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka, 2008.
Clymer Rodee, Carlton. Carl Quimby Christol. Totton James Anderson dkk. Pengantar Ilmu Politik. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002.
Firmanzah. Mengelolah partai politik (Komunikasi Dan Positioning Idiologi Politik Di Era Demokrasi).  Jakarta : Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2001.
Pamungkas, Sigit. Parta Politik ( Teori dan Praktik Di Indonesia). Yogyakarta: Perum Griya Saka Permai, 2011.
Subagyo, Firman. Menata Partai Politik ( Dalam Arus Demokratisasi Indonesia). Jakarta: RMBOOKS, 2009.


 Banda Aceh, 03 Mei 2016

                                                                                                                               Putri Aulia


Tidak ada komentar:

Posting Komentar